By. Hana Aina
“Semua ini bukan salahku!” seru Nada, terbelalak melihat
pemandangan di depannya. Tera, ibu tirinya terbujur kaku, bersimbah darah
dengan luka cabikan kuku selayaknya binatang buas. Ada juga Mara, kakak tirinya, yang juga diam
tak bergerak dengan mata terpejam. Gigitan taring juga meninggalkan luka
menganga di beberapa bagian tubuhnya.
“Aku sudah peringatkan kalian. Tapi kalian tak
menggubrisku,” ujar Nada. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, lalu menjatuhkan
diri dilantai perlahan. Ditariknya kakinya, lalu didekapnya erat.
***
“Ampun, Bu. Ampun!” Seru Nada. Ia terbaring di lantai
gudang, di sebuah rumah tua yang telah dihuninya semenjak lahir. Tangannya
berusaha menghalau sabetan rotan yang diarahkan Tera kepadanya. Ia merintih
kesakitan. Namun Tera tak memperdulikan. Ia terus menghujani Nada, tanpa ampun.
“Kau sudah berani berbohong kepadaku, ya?” tanya Tera,
berang. Ia menggenggam erat rotan ditangannya. Menatap sosok di depannya dengan
penuh kebencian.
Suara Nada bergetar, menyiratkan ketakutan. “Aku tak
pernah bohong kepada Ibu. Aku tak pernah mencurinya. Aku …”
“Bohong!” sahut Mara yang sejak tadi berdiri di belakang
Tera. Lanjutnya, “Aku melihatnya sendiri, Bu. Dia masuk ke kamar Ibu dan
mengambil kalung itu.”
Nada mendekap erat kalung berliontin batu delima merah.
Kalung itu diberikan ayahnya pada detik-detik terakhir kepergiannya. Itu adalah
kalung peninggalan ibunya yang harus ia jaga. Karena di dalam kalung itulah roh
ibunya bersemayam. Ia akan selalu menjaga Nada dari semua hal yang mengancam nyawanya.
“Ini kalungku.
Peninggalan almarhum ibuku satu-satunya,” kata Nada, mengenang.
“Sekarang itu milikku. Ayo serahkan!” seru Tera, meminta
kembali kalung itu.
“Tidak! Aku tidak mau!” Nada bergeming. Ia terus menggenggam
erat kalung yang dikenakan di lehernya. Dan itu membuat Tera makin gelap mata.
“Kalau kau tak mau menyerahkannya, aku akan terus
memukulmu,” ancam Tera. Sekali lagi ia mengayunkan rotan itu pada Nada.
“Hentikan! Ibuku akan marah pada kalian,” teriak Nada.
Mara tertawa terbahak. “Ibumu?! Ibumu sudah mati!”
Mendengar kata-kata Nada, Tera berhenti, lalu berkata, “apa
kau kira Ibumu akan datang membantumu?! Jangan bermimpi!” Tera pun tertawa
terbahak. Sesaat kemudian melanjutkan memukul Nada. Nada sudah tak tahan lagi.
Ia pun berteriak dengan lantang, “Ibu … ibu …. Tolong aku, Bu.”
Liontin yang tergantung di kalung itu berpendar,
mengeluarkan cahaya putih yang tiba-tiba terbang seperti siluet. Ia berpindah
cepat dari sudut satu ke sudut yang lain.
Mara terbelalak melihat kejadian itu. Ia ketakutan
hingga merapat ke ibunya. Tera pun masih bingung dengan sesuatu yang belum
jelas itu. Ia terus mengikuti kemana cahaya itu bergerak. Hingga mereka berdua
mendengar suara aungan keras, memekakkan telinga. Cahaya itu berhenti di
langit-langit gudang lalu berputar membentuk pusaran. Putarannya semakin cepat
hingga terbentuklah sesosok wanita bersayap dengan rambut panjang ikal menyala.
Matanya penuh amarah. Ia mengerang, memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Tera dan Mara mundur, menjauh dari sosok mengerikan itu.
“Si …siapa kau?”
Makhluk itu hanya terdiam. Menatap lurus pada dua
manusia di depannya. “Kau telah melukai puteriku,”
“Pu … puterimu?”
“Ya!” jawabnya, tegas. “Dan sekarang aku akan membalas
semuanya.”
Makhluk itu menegakkan tubuhnya, lalu menarik nafas
panjang. Seketika ia menghembuskan nafasnya sekuat tenaga, membentuk pusaran
angin besar. Mara yang ketakutan berlari menuju pintu gudang yang terbuka,
berharap bisa melarikan diri. Namun terlambat, pintu itu tiba-tiba tertutup. Ia
mencoba memutar handlenya, namun pintu tak bergerak, seolah terkunci.
Mara berbalik. Ia melihat Ibunya menunduk, lalu berjongkok,
berusaha bertahan dari angin itu. Sedang makhluk mengerikan itu mulai
mengepakkan sayapnya. Perlahan kakinya mulai meninggalkan lantai, terus naik
tinggi dan mengerang. Suaranya memekik hingga Mara harus menutup kedua
telinganya.
Sejurus kemudian makhluk itu mulai bergerak, secepat
kilat menyambar tubuh ibunya hingga terpelanting ke samping. Lalu menerkamnya
kuat, mencabiknya tanpa ampun. Mara merasa ngeri melihatnya hingga ia
menjatuhkan diri ke lantai, mendekap tubuh dan memejamkan mata. Ia hanya mampu
mendengar teriakan ibunya, kesakitan.
Sesaat kemudian suasana hening. Mara memberanikan diri
untuk membuka mata, menjawab rasa penasarannya. Namun ia terkejut seketika.
Ternyata makhluk itu ada di depannya, berdiri menatapnya dengan tajam. Mara
berteriak sekeras-kerasnya. Namun tak ada yang mendengarnya. Gudang bawah tanah
itu seolah memiliki dinding pemisah dengan dunia luar.
Makhluk itu meraih leher Mara, lalu menariknya ke atas.
Mara berusaha keras untuk berdiri, kalau tidak ia akan tercekik.
“Kau sama saja dengan ibumu!”
“A …ampun,” kata-kata Mara terbata. Tubuhnya kini merapat
ke dinding. Ia bisa merasakan tajamnya kuku makhluk itu mengenai kulitnya. Mara
bergeming. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana melepaskan diri. Jalan
nafasnya semakin semit.
Mara mengangkat kakinya lalu mengayunkannya ke perut
makhluk itu. Tak menduga akan mendapat perlawanan, makhluk itupun tersungkur
dan melepas cengkeramannya. Sekali lagi Mara menendang. Kali ini mengenai
kepalanya hingga terjungkal ke belakang. Mara pun berlari menjauh ke sudut yang
lain. Ia sadar tak bisa kemana-mana. Di lihatnya di sebelah kanan, tubuh Nada
lemas. Entah dia sudah mati atau hanya pingsan. Namun saat melihat ke sisi
kiri, tiba-tiba tubuh Mara berguncang. Ia melihat tubuh ibunya terlentang di
lantai, bersimbah darah, penuh cabikan.
Nafas Mara masih tak teratur. Ia melihat jauh di depannya,
makhluk itu telah bangkit dan berdiri menatapnya. Mara sedikit bergerak ke samping
lalu berlari menghindar, namun kalah cepat. Makhluk itu menerkamnya dari
belakang. Mara tersungkur, tertindih tubuh makkluk itu. Ia mencoba meminta
ampun, namun makhluk itu tak menggubris. Makhluk itu mulai mengoyak tubuh Mara.
Cakaran, gigitan dan cabikan, bertubi-tubi diterimanya hingga akhirnya ia
menyerah, tak bergerak.
***
“Sudahlah, Sayang.” Sosok wanita berambut lurus panjang,
berpakaian putih mengusap lembut kepala Nada. “Ayo, kita tinggalkan rumah ini!”
Makhluk itu telah menuntaskan dendamnya. Ia kini kembali
ke wujud aslinya. Seorang wanita lembut yang akan selalu melindungi puterinya
meski berbeda dunia.
THE END
---------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berbagi komentar