By. Hendra Veejay
Teman-teman, maaf... bukan sok pinter, tapi saya mau posting satu tulisan lama saya. Essay ini pernah dimuat di Sabili, dan rasanya akan nyambung sama materi tulisan humor yang kemarin dibawakan dengan mantap oleh kang Haris Firmansyah. Semoga bisa menambah-nambah ilmu teman-teman terutama dalam teori bisosiasi, teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori konflik (conflict theory), dan teori pembebasan (relief theory) yang keempatnya memang membentuk humor itu sendiri. Mohon maaf kalau tidak berkenan...
Pada bulan Agustus 2009, Pidi Baiq kembali mengeluarkan sebuah buku untuk melengkapi trilogi Drunken yang sudah terbit sebelumnya (Drunken Monster, Drunken Molen dan Drunken Mama), bukunya kali ini berjudul “Drunken Marmut”. Dilihat dari jenisnya, buku ke empat ini tidak berbeda dari pendahulunya, yang masih mengusung kisah sehari-hari dengan dibungkus oleh humor.
Kalau diperhatikan, di dunia perbukuan Indonesia sudah bertebaran ratusan judul buku humor, semuanya berusaha tampil beda dan mengusung sesuatu yang unik meski pada akhirnya mereka harus menyerah lagi pada kondisi pasar yang mulai jenuh pada humor yang berulang-ulang.
Faktanya, di balik situasi ini buku-buku Pidi Baiq bisa bicara banyak pada pembaca. Padahal jelas Pidi menjual humor bukan lewat popularitas seperti kebanyakan komedian nasional yang membuat buku humor. Popularitas Pidi adalah popularitas lokal, bahkan sebelum “Drunken Monster” terbit sebenarnya tidak banyak orang tahu kalau ada manusia bernama Pidi Baiq.
Jadi sebenarnya apa yang ditawarkan oleh Pidi lewat bukunya? Lebih jauh lagi, apakah tetralogi Drunken memiliki “konsep humor” yang benar?
Pertanyaan ini terjawab bila kita memahami apa definisi dari humor. Sebelumnya kita lihat dulu pernyataan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan bahwa humor hakikatnya tak lain dari “logika bengkok” atau plesetan.
Pernyataan ini bisa saja kita terima, tapi pengertian “logika bengkok” masih terlalu luas karena bisa diterapkan pada humor-humor slapstick (humor-humor yang bersifat fisik, dan sering dianggap jenis humor paling rendah) hingga ke humor situasi yang canggih seperti episode “Mad About You” atau kartun-kartun “Far Side Gallery” karya Garry Larson. Jadi untuk menemukan jenis humor yang diusung Pidi Baiq, mari kita persempit ruang bahasan ini.
Teori Humor Sigmund Freud dan Teori Bisosiasi
Humor berasal dari bahasa Latin, umor yang berarti cairan, dan Sigmund Freud memilah humor menjadi tiga jenis yaitu comic, humor, dan wit. Apakah ini?
Pengertiannya begini, sebuah comic tidak memerlukan logika dan hanya mengejar kelucuan semata, lalu humor adalah humor yang ditujukan untuk menyindir dan menertawakan diri sendiri, sementara wit adalah humor yang memerlukan pemikiran untuk memahaminya
Ketiganya ternyata ada dalam tertralogi Drunken. Untuk comic contohnya : “Bang lokasi syuting G30 S PKI yang kedua di mana ya?” tanya saya sama si sopir (Drunken Molen, hal 102).
Lalu untuk humor : …tapi kan anak titipan Tuhan / … / berarti terserah Tuhan dong mau nitip kapan? / … / Kalau Tuhan nitipnya pas kami belum nikah? / Berarti kamu dosa! / Kok, Tuhan yang nitip malah kami yang dosa? (Drunken Mama, hal 110).
Lalu wit : …mengapa Tuhan tidak menampakkan dirinya?… / … karena, ya itu, kalau Tuhan menampakkan dirinya, berarti Tuhan tidak adil. / Kenapa? / Iya, berarti kasihan orang buta… (Drunken Mama, hal 88)
Selain itu ada lagi teori yang bisa dipakai untuk mengukur kelengkapan tetralogi Drunken, yaitu teori bisosiasi. Menurut teori bisosiasi, yang mendasari semua humor adalah kondisi penyatuan dua ide, dua hal, dua dunia, atau dua situasi yang berlainan, dan akhirnya terasa ganjil, bertentangan, tidak pantas, dan tidak logis (Sisk dan Sounders, 1972; Levine, 1972; Blistein, 1977).
Berbanding lurus dengan itu, konsep humor harus bermuara pada tiga teori utama, yaitu teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori konflik (conflict theory), dan teori pembebasan (relief theory) (Wilson, 1979). Dari ketiganya, dua teori pertama sangat relevan dikaitkan dengan teori bisosiasi. Kita akan coba lihat kedua teori ini dalam tetralogi Drunken
Pertama, teori ketidaksejajaran memandang humor sebagai penggabungan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek, misalnya : “Aneh, kenapa sih perempuan itu nggak mau dimadu. Kan manis, Ibu? Sehat.” / “Dimadu, Sayaaang, bukan diberi madu!” lanjut istri saya… (Drunken Mama, hal 84). Di sini terjadi humor verbal yang terbangun karena ada ketidaksejajaran antara rasa madu yang manis dengan “dimadu” dalam hubungan kasih sayang yang jelas menyakitkan.
Lalu yang kedua, teori konflik menerima humor sebagai penjajaran dua atau lebih situasi yang bertentangan ke dalam satu konteks (Wilson, 1979: 11). Misalnya : “Dua mendatar. Lima kotak. M-O-B-I-L” / “Pertanyaannya apa bos?” / nggak usah lihat pertanyaannya. Langsung saja.” / … / Hanya butuh beberapa menit untuk menyelesaikan satu TTS di halaman itu / “Sekarang lihat pertanyaannya. Nomor satu mendatar, Yat… makanan atau sesuatu yang dipakai untuk memikat atau menangkap binatang?... Jawabannya : MOBIL… Mobil itu bisa dipakai untuk menangkap binatang Yat!” (Drunken Molen, hal 75-76). Di sini jelas sudah terjadi sebuah penyejajaran dua situasi bertentangan. Padahal dalam kondisi normal, harusnya jawaban TTS yang diminta adalah kata “Umpan”, tapi ternyata kata “Mobil” pun bisa masuk ke sana.
Dari sudut pandang teori Freud dan bisosiasi tadi, tidak berlebihan bila tetralogi Drunken disebut sebagai naskah humor yang cukup lengkap, artinya naskah ini tidak terjebak pada stereotipe kumpulan lelucon pendek. Bahkan rasanya bila dibandingkan dengan buku-buku humor dari luar, tetralogi Drunken—secara bentuk tulisan—sudah layak disejajarkan dengan kumpulan esai humor nonfiksi karya Dennis Miller, atau Roy Blount Jr.
Buku ini pun bisa menjadi penyeimbang dari beberapa jenis buku humor yang “menganggap enteng” penulisan humor. Sebab di Indonesia, kebanyakan penulis humor masih menganggap humor tulisan sama dengan humor pementasan. Ini yang membuat sejumlah pelawak “latah” menulis buku dengan sekadar menyusun kumpulan lelucon dan mengubah tokohnya menjadi nama mereka.
Lantas ada pertanyaan baru yang muncul, secara humor memang buku ini memiliki “syarat-syarat” yang lengkap, tapi dimana posisinya dalam dunia sastra Indonesia?
Humor dalam Sastra Indonesia
Dalam sastra Indonesia, humor bukanlah hal yang asing. Puisi-puisi Joko Pinurbo atau Godi Suwarna seringkali memuat humor yang menjadi ciri khasnya. Dalam sastra, humor terbangun tidak lewat konsistensi mengikuti standar cerita, tetapi justru lewat penyimpangan terhadap konvensi sastra, konvensi budaya, dan konvensi bahasa.
Namun semua penyimpangan ini tetap harus memperhatikan pembaca, karena setiap lapis intelegensi, budaya, usia, maupun geografi, akan berpengaruh terhadap kemampuan mengapresiasi karya humor. Itulah mengapa ada kelompok masyarakat yang merasakan kelucuan dari humor jenis slapstick (kasar) atau ada juga yang baru tertawa setelah melihat karya humor yang penuh logika.
Sayangnya di Indonesia, orang-orang masih terjebak dalam stereotipe humor yang mengatakan bahwa buku humor harus yang "kocak". Padahal karya satir seperti Gulliver’s Travels karya Jonathan Swift juga termasuk humor. Akhirnya bisa kita lihat puluhan komik strip di koran-koran juga menderita stereotipe serupa. Mayoritas adalah kartun satu atau beberapa panel yang tidak memuat dialog. Hanya mengandalkan kelucuan adegan slapstick.
Komikus/kartunis yang menggunakan dialog dan situasi humor seperti Dwi Koendoro masih jarang. Apalagi yang menyamai Scott Adams, dengan seri Dilbert yang menjadi ikon budaya. Atau seperti Bill Watterson, yang mampu menggambarkan pola pikir seorang anak dalam seri Calvin and Hobbes, hingga tanpa sadar kita ikut mempertanyakan kehidupan. Untung karya-karya humor Indonesia masih tertolong oleh kartun-kartun milik Benny & Mice atau seri Panji Koming, ditambah beberapa buku humor nonfiksi seperti seri Kambing Jantan, My Stupid Boss, Bertanya atau Mati, dan tetralogi Drunken ini.
Tampaknya Indonesia masih harus belajar banyak tentang penulisan humor. Apalagi dalam penulisan, humor sebenarnya merupakan elemen cerita dan bukan sebuah kategori karya baru. Artinya humor bisa diterapkan di mana saja, baik di dalam komik, fiksi atau nonfiksi.
Maka beruntunglah kita punya beberapa pionir naskah humor yang cukup baik, salah satunya adalah tetralogi Drunken karya Pidi Baiq yang meskipun bukan buku terbaik, tapi setidaknya bisa menggambarkan apa yang dikatakan seorang penulis bernama William Davis :
“Jenis humor yang saya sukai adalah yang membuat saya tertawa selama lima detik, lalu membuat saya berpikir selama sepuluh menit.”
Bandung, September 2009
Penulis adalah seorang penulis, anggota FLP Jawa Barat
------------------------------------------
Sumber : Kelas On Line bimbingan Menulis novel
Teman-teman, maaf... bukan sok pinter, tapi saya mau posting satu tulisan lama saya. Essay ini pernah dimuat di Sabili, dan rasanya akan nyambung sama materi tulisan humor yang kemarin dibawakan dengan mantap oleh kang Haris Firmansyah. Semoga bisa menambah-nambah ilmu teman-teman terutama dalam teori bisosiasi, teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori konflik (conflict theory), dan teori pembebasan (relief theory) yang keempatnya memang membentuk humor itu sendiri. Mohon maaf kalau tidak berkenan...
Pada bulan Agustus 2009, Pidi Baiq kembali mengeluarkan sebuah buku untuk melengkapi trilogi Drunken yang sudah terbit sebelumnya (Drunken Monster, Drunken Molen dan Drunken Mama), bukunya kali ini berjudul “Drunken Marmut”. Dilihat dari jenisnya, buku ke empat ini tidak berbeda dari pendahulunya, yang masih mengusung kisah sehari-hari dengan dibungkus oleh humor.
Kalau diperhatikan, di dunia perbukuan Indonesia sudah bertebaran ratusan judul buku humor, semuanya berusaha tampil beda dan mengusung sesuatu yang unik meski pada akhirnya mereka harus menyerah lagi pada kondisi pasar yang mulai jenuh pada humor yang berulang-ulang.
Faktanya, di balik situasi ini buku-buku Pidi Baiq bisa bicara banyak pada pembaca. Padahal jelas Pidi menjual humor bukan lewat popularitas seperti kebanyakan komedian nasional yang membuat buku humor. Popularitas Pidi adalah popularitas lokal, bahkan sebelum “Drunken Monster” terbit sebenarnya tidak banyak orang tahu kalau ada manusia bernama Pidi Baiq.
Jadi sebenarnya apa yang ditawarkan oleh Pidi lewat bukunya? Lebih jauh lagi, apakah tetralogi Drunken memiliki “konsep humor” yang benar?
Pertanyaan ini terjawab bila kita memahami apa definisi dari humor. Sebelumnya kita lihat dulu pernyataan Arswendo Atmowiloto yang mengatakan bahwa humor hakikatnya tak lain dari “logika bengkok” atau plesetan.
Pernyataan ini bisa saja kita terima, tapi pengertian “logika bengkok” masih terlalu luas karena bisa diterapkan pada humor-humor slapstick (humor-humor yang bersifat fisik, dan sering dianggap jenis humor paling rendah) hingga ke humor situasi yang canggih seperti episode “Mad About You” atau kartun-kartun “Far Side Gallery” karya Garry Larson. Jadi untuk menemukan jenis humor yang diusung Pidi Baiq, mari kita persempit ruang bahasan ini.
Teori Humor Sigmund Freud dan Teori Bisosiasi
Humor berasal dari bahasa Latin, umor yang berarti cairan, dan Sigmund Freud memilah humor menjadi tiga jenis yaitu comic, humor, dan wit. Apakah ini?
Pengertiannya begini, sebuah comic tidak memerlukan logika dan hanya mengejar kelucuan semata, lalu humor adalah humor yang ditujukan untuk menyindir dan menertawakan diri sendiri, sementara wit adalah humor yang memerlukan pemikiran untuk memahaminya
Ketiganya ternyata ada dalam tertralogi Drunken. Untuk comic contohnya : “Bang lokasi syuting G30 S PKI yang kedua di mana ya?” tanya saya sama si sopir (Drunken Molen, hal 102).
Lalu untuk humor : …tapi kan anak titipan Tuhan / … / berarti terserah Tuhan dong mau nitip kapan? / … / Kalau Tuhan nitipnya pas kami belum nikah? / Berarti kamu dosa! / Kok, Tuhan yang nitip malah kami yang dosa? (Drunken Mama, hal 110).
Lalu wit : …mengapa Tuhan tidak menampakkan dirinya?… / … karena, ya itu, kalau Tuhan menampakkan dirinya, berarti Tuhan tidak adil. / Kenapa? / Iya, berarti kasihan orang buta… (Drunken Mama, hal 88)
Selain itu ada lagi teori yang bisa dipakai untuk mengukur kelengkapan tetralogi Drunken, yaitu teori bisosiasi. Menurut teori bisosiasi, yang mendasari semua humor adalah kondisi penyatuan dua ide, dua hal, dua dunia, atau dua situasi yang berlainan, dan akhirnya terasa ganjil, bertentangan, tidak pantas, dan tidak logis (Sisk dan Sounders, 1972; Levine, 1972; Blistein, 1977).
Berbanding lurus dengan itu, konsep humor harus bermuara pada tiga teori utama, yaitu teori ketidaksejajaran (incongruity theory), teori konflik (conflict theory), dan teori pembebasan (relief theory) (Wilson, 1979). Dari ketiganya, dua teori pertama sangat relevan dikaitkan dengan teori bisosiasi. Kita akan coba lihat kedua teori ini dalam tetralogi Drunken
Pertama, teori ketidaksejajaran memandang humor sebagai penggabungan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek, misalnya : “Aneh, kenapa sih perempuan itu nggak mau dimadu. Kan manis, Ibu? Sehat.” / “Dimadu, Sayaaang, bukan diberi madu!” lanjut istri saya… (Drunken Mama, hal 84). Di sini terjadi humor verbal yang terbangun karena ada ketidaksejajaran antara rasa madu yang manis dengan “dimadu” dalam hubungan kasih sayang yang jelas menyakitkan.
Lalu yang kedua, teori konflik menerima humor sebagai penjajaran dua atau lebih situasi yang bertentangan ke dalam satu konteks (Wilson, 1979: 11). Misalnya : “Dua mendatar. Lima kotak. M-O-B-I-L” / “Pertanyaannya apa bos?” / nggak usah lihat pertanyaannya. Langsung saja.” / … / Hanya butuh beberapa menit untuk menyelesaikan satu TTS di halaman itu / “Sekarang lihat pertanyaannya. Nomor satu mendatar, Yat… makanan atau sesuatu yang dipakai untuk memikat atau menangkap binatang?... Jawabannya : MOBIL… Mobil itu bisa dipakai untuk menangkap binatang Yat!” (Drunken Molen, hal 75-76). Di sini jelas sudah terjadi sebuah penyejajaran dua situasi bertentangan. Padahal dalam kondisi normal, harusnya jawaban TTS yang diminta adalah kata “Umpan”, tapi ternyata kata “Mobil” pun bisa masuk ke sana.
Dari sudut pandang teori Freud dan bisosiasi tadi, tidak berlebihan bila tetralogi Drunken disebut sebagai naskah humor yang cukup lengkap, artinya naskah ini tidak terjebak pada stereotipe kumpulan lelucon pendek. Bahkan rasanya bila dibandingkan dengan buku-buku humor dari luar, tetralogi Drunken—secara bentuk tulisan—sudah layak disejajarkan dengan kumpulan esai humor nonfiksi karya Dennis Miller, atau Roy Blount Jr.
Buku ini pun bisa menjadi penyeimbang dari beberapa jenis buku humor yang “menganggap enteng” penulisan humor. Sebab di Indonesia, kebanyakan penulis humor masih menganggap humor tulisan sama dengan humor pementasan. Ini yang membuat sejumlah pelawak “latah” menulis buku dengan sekadar menyusun kumpulan lelucon dan mengubah tokohnya menjadi nama mereka.
Lantas ada pertanyaan baru yang muncul, secara humor memang buku ini memiliki “syarat-syarat” yang lengkap, tapi dimana posisinya dalam dunia sastra Indonesia?
Humor dalam Sastra Indonesia
Dalam sastra Indonesia, humor bukanlah hal yang asing. Puisi-puisi Joko Pinurbo atau Godi Suwarna seringkali memuat humor yang menjadi ciri khasnya. Dalam sastra, humor terbangun tidak lewat konsistensi mengikuti standar cerita, tetapi justru lewat penyimpangan terhadap konvensi sastra, konvensi budaya, dan konvensi bahasa.
Namun semua penyimpangan ini tetap harus memperhatikan pembaca, karena setiap lapis intelegensi, budaya, usia, maupun geografi, akan berpengaruh terhadap kemampuan mengapresiasi karya humor. Itulah mengapa ada kelompok masyarakat yang merasakan kelucuan dari humor jenis slapstick (kasar) atau ada juga yang baru tertawa setelah melihat karya humor yang penuh logika.
Sayangnya di Indonesia, orang-orang masih terjebak dalam stereotipe humor yang mengatakan bahwa buku humor harus yang "kocak". Padahal karya satir seperti Gulliver’s Travels karya Jonathan Swift juga termasuk humor. Akhirnya bisa kita lihat puluhan komik strip di koran-koran juga menderita stereotipe serupa. Mayoritas adalah kartun satu atau beberapa panel yang tidak memuat dialog. Hanya mengandalkan kelucuan adegan slapstick.
Komikus/kartunis yang menggunakan dialog dan situasi humor seperti Dwi Koendoro masih jarang. Apalagi yang menyamai Scott Adams, dengan seri Dilbert yang menjadi ikon budaya. Atau seperti Bill Watterson, yang mampu menggambarkan pola pikir seorang anak dalam seri Calvin and Hobbes, hingga tanpa sadar kita ikut mempertanyakan kehidupan. Untung karya-karya humor Indonesia masih tertolong oleh kartun-kartun milik Benny & Mice atau seri Panji Koming, ditambah beberapa buku humor nonfiksi seperti seri Kambing Jantan, My Stupid Boss, Bertanya atau Mati, dan tetralogi Drunken ini.
Tampaknya Indonesia masih harus belajar banyak tentang penulisan humor. Apalagi dalam penulisan, humor sebenarnya merupakan elemen cerita dan bukan sebuah kategori karya baru. Artinya humor bisa diterapkan di mana saja, baik di dalam komik, fiksi atau nonfiksi.
Maka beruntunglah kita punya beberapa pionir naskah humor yang cukup baik, salah satunya adalah tetralogi Drunken karya Pidi Baiq yang meskipun bukan buku terbaik, tapi setidaknya bisa menggambarkan apa yang dikatakan seorang penulis bernama William Davis :
“Jenis humor yang saya sukai adalah yang membuat saya tertawa selama lima detik, lalu membuat saya berpikir selama sepuluh menit.”
Bandung, September 2009
Penulis adalah seorang penulis, anggota FLP Jawa Barat
------------------------------------------
Sumber : Kelas On Line bimbingan Menulis novel
keren tulisannya mba, makasih mba udah mau nulis buat saya.
BalasHapus