By. Hana Aina
-----------------------------------
-----------------------------------
“Terima
kasih. Kau telah mempermudah jalanku,” suara David disusul tawa yang membahana.
Aku
merasa bodoh sekarang. Pesona David telah memperdayaiku. Seharusnya aku
tidak menghiraukan ajakan David untuk bersekongkol menjatuhkan kakakku,
mengalahkannya dalam pencalonan ketua OSIS. Sikap licik David telah berhasil
membuatnya kalah telak dengan suara hanya 181. Itu sangat jauh dibanding suara
yang didapat David, 419 suara.
“Maafkan
aku,” pintaku pada Kak Irfan yang duduk di depanku. Ia hanya tediam, menahan marah.
“Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan kakak,”
“Aku hanya
kesal pada kakak karena tidak memasukkan aku sebagai tim sukses,”
“Kau
tidak masuk saja telah berhasil membuat semuanya jadi berantakan, bagaimana
kalau masuk, pasti semua hancur,”
Kak
Irfan terdiam lalu membuang nafas panjang. Ia berdiri dan meninggalkanku dalam
kedaan bersalah. Image yang ia bangun
selama 3 tahun di SMU sebagai siswa teladan dan berprestasi aku runtuhkan
begitu saja dalam sehari. Mungkin, tak akan ada pengampunan darinya, meski ribuan
maaf telah aku lontarkan.
***
Pelantikan
ketua OSIS segera dimulai. Semua murid berkumpul di lapangan layaknya upacara.
Aku sengaja mengambil barisan paling depan agar aku bisa melihat dengan jelas
wajah kemenangan David. Saat kepala sekolah mengumumkan ketua OSIS yang baru,
David berjalan maju ke mimbar. Aku pun tak sabar mengikutinya maju ke depan.
“Rifka?”
tanya kepala sekolah, heran melihatku maju ke depan. David yang berdiri di
sampingku menahan amarah. Wajahnya merah padam.
“Maaf,
Pak, jika saya lancang. Ijinkan saya berbicara sesuatu,” tanpa persetujuan
kepala sekolah segera aku ambil mic.
“Pemimpin
adalah teladan. Dia harus punya sikap yang jujur dan kesatria. Bukan pengecut
dan licik,” mendadak aku seperti berorase di depan publik.
“Apa
maksudmu?” tanya kepala sekolah, bingung dengan apa yang sebenarnya yang ingin
aku katakan.
“David
telah berbuat curang. Ia meminta saya untuk menfitnah calon ketua OSIS yang
lain, Irfan Dwi Pratomo,” tak tahan rasanya aku menyimpan kebenaran itu
sendiri. Aku ingin semua tahu bahwa desas desus yang mengatakan bahwa Kak Irfan
pengguna narkoba adalah tidak benar.
“Kau
memfitnah kakakmu sediri?” tanya kepala sekolah, tak percaya. Aku hanya
mengangguk, penuh penyesalan.
“Bohong.
Dia bohong, Pak,” David berusaha mengelak. “Jangan asal tuduh. Kalau tak punya
bukti, itu fitnah,”
“Aku
punya buktinya,” aku mengeluarkan ponsel dari saku baju. Memutar rekamannya
lalau mendekatkannya ke mic agar semua mendengar.
Untung
saat itu aku sempat merekam pembicaraan saat David memintaku membantunya
melancarkan siasat liciknya. Sebagai gantinya, dia akan menjadikanku
kekasihnya. Itulah kebodohanku. Tersihir oleh pesona ketampanan David, hingga
mau melakukan apa saja untuknya.
“Itu
suaramu, kan,
David?” tanya kepala sekolah, mempertegas.
“Itu…”
David kehilangan kata-katanya. Ia tak mampu lagi menutupi kebohongannya.
“Ya,
benar. Itu suara David,” salah satu murid di barisan tengah tiba-tiba
berteriak.
“Saya
di sini untuk mengungkapkan kebenaran, sekaligus meminta maaf pada kak Irfan,
kakak saya, calon ketua OSIS sekolah kita,” kataku, penuh harap kak Irfan mau
memaafkan.
“Pemilihan
harus diulang, Pak,” teriak murid yang lain.
“Setuju..!!!”
murid-murid mulai ricuh.
“Baiklah.
Meski kita telah kehilangan banyak waktu dan tenaga, tapi demi kejujuran dan
sportifitas, akan diadakan pemilihan ulang besok pagi,” ujar kepala sekolah
menenangkan.
***
“Kejujuran
itu terkadang harus dibayar dengan mahal, ya,” kataku pada kak Irfan yang duduk
di sampingku sambil menikmati es krim coklat yang mulai lumer. Siang itu, di
warung belakang sekolah, terasa sejuk. Bukan hanya karena kami sedang menikmati
es krim, tapi juga karena ketegangan di antar aku dan Kak Irfan mulai mencair.
“Apa
kau tidak menyesal?” tanya kak Irfan. Pertanyaannya mengandung banyak makna
untukku.
“Menyesal
untuk apa?” tanyaku.
“Tidak
jadi kekasihnya David,” jawab Kak Irfan sambi melirik ke arahku.
“Sepertinya
lebih enak jadi adik kak Irfan dari pada kekasihnya David. Setiap hari
ditraktir es krim,” kataku sambil terkekeh.
“Ih,
maunya,”
THE END
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berbagi komentar