Bulan masih bulat penuh saat Ai menutup jendela kamarnya. Bulan itu tak lagi berwarna kuning, begitu pula semua yang ada di sekitarnya. Semua tinggal abu-abu dengan intensitas berbeda-beda. Semenjak dark hole terbuka, semua warna di dunia ini leyap, terserap olehnya.
Adalah kesalahan Ai yang membuka penutup dark hole. Meski ia tidak sengaja. Semua
bermula dari kegiatan kerja bakti yang diadakan sekolah mereka dua hari yang
lalu. Disaat membersihkan halaman belakang yang penuh semak belukar, Ai yang berumur
lima belas
tahun saat itu ditemani Io, kakaknya yang setahun lebih tua darinya, tak
sengaja menarik penutup dark hole.
Penutupnya hanya berupa batu berbentuk oval yang tertancap di tanah. Namun
setelah batu itu tercabut, dark hole
terbentuk. Dari sanalah kegelapan bermula. Dark
hole menyerap semua warna yang ada di dunia ini dan menukarnya dengan abu-abu.
Seketika seluruh dunia gempar. Pemberitaan media cetak
maupun elektronik mengenai fenomena ini merebak. Para
ilmuwan dari berbagai neraga mengadakan penelitian bersama, membahas tentang
keanehan yang terjadi, menghilangnya warna dari dunia. Pasukan militer di
setiap negara diwajibkan bersiaga, memantau perkembangan setiap saat
kalau-kalau terjadi ancaman yang tak diinginkan.
Bumi seperti planet yang hampir mati. Tak banyak
aktivitas yang dilakukan manusia sekarang ini. Hanya sedikit orang yang berani
keluar rumah. Biasanya mereka pergi untuk membeli keperluan sehari-hari, menimbun
bahan makanan. Transportasi umum hanya sesekali saja berjalan. Itupun tak
banyak penumpang. Tidak ada pesawat yang terbang, kecauli pesawat militer yang
lalu lalang berpatroli.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanya Ai. Ia
naik ke tempat tidur Io yang tepat bersebelahan dengan jendela kamar. Tirai
terbuka lebar. Io melihat ke luar, ke matahari yang kini tak seterang dua
minggu yang lalu, sekarang tinggal lingkaran besar berwarna abu-abu terang di
antara abu-abu yang lebih gelap yang biasa berwarna biru jika siang hari dan
biasa disebut langit.
Io hanya terdiam. Ia masih menatap matahari abu-abu yang
kini sinarnya tak lagi menyilaukan mata hingga siapapun bisa menatapnya secara
langsung. Ia menggigit bibir bawahnya, berpikir keras, berusaha menjawab
pertanyaan Ai. “Aku tak tahu,” jawabnya kemudian. Ia mendesah dramatis. “Kita
harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
“Tentang lubang hitam itu … tidak mungkin lubang sekecil
itu bisa menyerap semua warna di dunia ini.” Ai memandang lurus ke Io. Suaranya
sedikit bergetar. Ada
sedikit rasa takut dalam hatinya yang memancar lewat matanya.
“Pernyataan yang bagus. Itulah yang harus kita cari
tahu.” Tiba-tiba Io bersemangat. Saat-saat seperti ini adalah saat dia harus
memberikan dukungan ke pada adiknya yang merasa bersalah karena telah menarik kristal
hitam itu. Io memegang kedua bahu Ai, memutarnya agar menghadap padanya. “Kita
pasti akan menemukan jalan keluarnya. Percayalah padaku.”
“Entahlah, Io.” Ai memalingkan wajahnya ke televisi yang
masih memberitakan tentang kepanikan manusia di berbagai belahan dunia akan
fenomena ini. “Semua itu karena aku.”
Io mendesah dramatis. Ia mengambil remot televisi yang
tak jauh dari tempatnya lalu mengarahkannya ke televisi. Saat ia menekan tombol
off dan televisi mati, ia kembali memandang Ai.
“Jangan pikirkan kepanikan itu.” Io turun dari tempat
tidur, berjalan menuju ke meja belajarnya. Ia mengambil laptop lalu
menyalakannya. “Semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali ke seperti
semula.”
“Bagaimana caranya?” Nada pertanyaan Ai seperti tidak
percaya dengan apa yang dikatakan Io.
“Yaa … entahlah. Aku juga belum tahu. Tapi akan kita
cari tahu.” Saat Io kembali menatap layar laptop dan mulai mencari informasi di
internet tentang apa yang terjadi, Ai menghela nafas panjang. Ia tertunduk,
bahunya melorot.
“Lebih baik kau kemari dan bantu aku mencarinya,” pinta
Io tanpa melihat ke Ai.
Ai belum beranjak dari tempat tidur. “Apa kau akan
mengatakan pada ayah dan ibu yang sebenarnya?”
Dengan cepat Io menoleh ke Ai. “Aku bukan tipe pengadu.
Ini akan menjadi rahasia kita.”
“Benar?” Ai meragukan kata-kata Io.
Lagi-lagi Io mendesah dramatis. “Apa aku pernah
berbohong padamu?”
“Pernah.” Jawab Ai cepat. “Bahkan sering.”
Io sedikit geram. “Itu karena aku sedang bercanda.”
Ai ingat saat Io tanpa sengaja menemukan hasil ulangan
hariannya yang jelek, yang terjatuh dari bawah bantalnya. Ai sudah berusaha
menyembunyikannya. Tapi ini bukan kamar pribadi. Sejak lahir ia harus berbagi
kamar berukuran lima
kali enam meter ini dengan Io. Bisa saja sesuatu terjadi tanpa disadari. Termasuk
rahasia yang sudah dengan rapi disimpan, tiba-tiba ketahuan.
Saat itu Io berjanji tidak akan mengatakannya pada ayah.
Ai tahu ayahnya akan marah besar. Ai sadar, ia tak sepintar Io. Tapi ia sudah
berusaha keras, dan gagal. Semua berjalan lancar hingga saat mereka sarapan
bersama, tiba-tiba Io keceplosan. Dia memang sering seperti itu, seperti bicara
tak terkendali. Meskipun tak sengaja, tapi tetap saja Ai ketahuan. Ai terkadang
bingung. Sebenarnya Io benar-benar keceploan atau sengaja mengatakannya. Bukan
sekali ini kejadian. Saat Ai naksir Ian, sepupunya sendiri – putera paman Sam,
adik ayahnya – Io melakukan hal sama. Ia tiba-tiba keceplosan, membuat semua
orang yang ada di rumah neneknya tertawa. Dan itu membuat Ai sangat malu.
“Apa kau sedang serius sekarang?” Ai memastikan. Ia
mengamati wajah Io dengan seksama. Tak ada sedikitpun senyum di wajahnya.
Bahkan memang terkesan tidak sedang bercanda.
“Apa menurutmu semua kegelapan ini adalah gurauan?”
Ai menggeleng.
“Tidak ada yang ingin bercanda dalam situasi ini.”
Ai mengangguk. Suaranya makin lemah, tapi paling tidak
ia sedikit lega tak akan ada yang tahu kalau dialah pembuka dark hole. “Terima
kasih, Io.”
“Sama-sama. Tapi aku akan terus mengingat ini. Dan suatu
saat nanti kau juga harus membantuku.” Kata-kata Io tegas. Ia menoleh ke Ai
dengan wajah serius.
Alis Ai terangkat, sedikit curiga dengan sikap Io. “Mambantu
apa?”
Io hanya mengendikan bahu. “Entahlah. Aku belum tahu.” Ia
lalu kembali menatap layar laptop. “Tapi suatu saat aku pasti juga akan
membutuhkan bantuanmu. Dan kau harus menyanggupinya. Tidak boleh ada alasan.”
“Tuh, kan .
Sudah aku duga.” Bahu Ai melorot. “Kau pasti punya pamrih membantuku. Tidak ada
yang gratis darimu, Io.”
Io tertawa. “Sudah, lupakan! Ayo, kemari!”
***
“Aku tak percaya. Kegelapan ini pernah terjadi
sebelumnya. Ratusan tahun yang lalu. Tapi artikel ini tak menyebutkan
penyebabnya.” Mata Io memindai setiap kata yang muncul di layar laptopnya. Ia
membaca sebuah artikel yang ditemukannya. Satu-satunya artikel yang benar-benar
memberinya informasi tentang fenomena kegelapan ini.
“Mungkin karena tak ada yang tahu apa penyebabnya,” jawab
Ai asal. Ia sudah terlalu putus asa dengan semua ini. Untung saja ada kakaknya,
Io. Ia selalu punya semangat dalam hidupnya dan tak pernah padam. Terkadang Ai
senang dekat dengannya, berharap semangat itu menular padanya.
Io melanjutkan membaca. “Kegelapan itu terjadi dalam
beberapa minggu. Dan saat kegelapan itu terjadi, sering terdengar suara auman
yang tak diketahui dari mana asalnya.”
Mata Ai menyipit. Ia mendekat ke Io lalu berkata dengan
suara berbisik. “Kira-kira suara apa itu?”
Io bergumam. “Entahlah.”
Suara Ai kembai normal. Ia coba mengingat-ingat. “Ini
sudah hampir seminggu dan kita tidak mendengar suara aneh apapun.”
Io mengangguk. “Benar. Kecuali …,” Ia melihat ke arah Ai
dan membuat dahi Ai berkerut semakin dalam. Ai tidak mengerti arti tatapan mata
kakaknya itu.
“Kecuali apa?”
“Suara mendengkurmu yang keras,” Jawab Io dengan maksud
mengejek, lalu dia tertawa.
Ai cemberut. “Kau bilang tak ada yang mau bercanda di
situasi seperti ini.”
“Maaf.” Io masih terkekeh. “Aku hanya tidak ingin kita
terus tegang seperti ini. Ayolah, Ai! Tersenyumlah sedikit!” Io merasa
bersalah. Ia memang suka jahil terhadap Ai. Ia tahu adiknya itu berhati kecil,
mudah terpengaruh dan penakut. Mudah meributkan masalah yang kecil menjadi
besar.
“Bagaimana aku bisa tersenyum?”
“Dengar!” Io memegang pundak Ai, berusaha menguatkan. “Kita
sudah mendapat sedikit informasi. Dan aku yakin informasi ini akan membawa kita
ke jalan keluar.”
“Dimana?”
“Perpustakaan kota ,”
Jawab Io mantap. Ia tersenyum dan sangat percaya diri dengan gagasannya itu.
“Apa?!” Ai mengerjap. Tidak mengerti hubungan seperti
apa yang dipikirkn Io.
Io geram karena adiknya belum juga memahami arah
pembicaraan. “Perpustakaan kota
adalah perpustakaan terbesar dan terlengkap. Pasti di sana banyak menyimpan buku sejarah, catatan
perjalanan, koran, kliping atau apapun.”
“Bagaimana kita bisa ke sana ? Ayah melarang kita pergi keluar.”
Io memutar matanya. “Sejak kapan kau jadi penurut?”
Mendengar perkataan Io, Ai menelan ludah dengan susah. Ia
mengerti maksud kakaknya. Mereka akan pergi dari rumah dengan menyelinap. Mengendap-endap
seperti pencuri di rumah sendiri.
“Ambil jaketmu dan jangan berisik!” pinta Io. Ia sendiri
memasukkan lembaran kertas artikel yang dicetaknya dari internet yang berisi
secuil informasi tentang dark hole.
Zack, ayah Io dan Ai, sedang sibuk berbicara dengan
seseorang di telepon saat kedua anak itu turun ke bawah. Dan Scarlet, ibu mereka,
sedang memasak makan malam di dapur. Io dan Ai sengaja melepas sepatu mereka
agar tak ada suara langkah kaki, mereka
melangkah selangkah demi selangkah. Setelah melihat sekeliling dan dirasa aman,
dengan mantap keduanya melanjutkan mengendap-endap, membuka pintu depan
perlahan lalu menutupnya tanpa suara.
“Cepat! Kita harus kembali sebelum makan malam.”
***
Perpustakaan kota
masih buka sore itu. Io dan Ai menaiki beberapa anak tangga hingga mereka
sampai tepat di terasnya. Empat pilar penyangga besar menjulang hingga ke atas.
Sebuah pintu masuk besar terbuat dari kaca membawa mereka ke lobi depan. “Apa
kau yakin kita akan menemukan sesuatu di sini?” Tanya Ai.
“Tentu saja” jawab Io sambil menyerahkan kartu
anggotanya pada petugas. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan itu menyorotkan barcode yang ada dibelakang kartu pada barcode reader. Sesaat kemudian
terdengar suara beep, dan layar komputer memunculkan foto Io lengkap dengan
identitasnya.
“Selamat datang,” sapa petugas itu, lalu menyerahkan
kartu Io kembali. “Silahkan menggunakan komputer yang tersedia untuk mencari
buku yang kamu inginkan. Jika kesulitan, silahkan minta bantuan petugas kami,” katanya
ramah.
“Terima kasih.” Kata Io saat menerima kartunya kembali.
“Sampai kapan anda akan bertugas, Pak?”
“Sampai orang-orang di dalam itu menuntaskan rasa
penasarannya dengan yang terjadi sekarang.”
“Banyak orang di dalam?”
“Tidak juga. Hanya beberapa. Tapi mereka datang setiap
hari kemari, membongkar buku-buku ....”
“Anda tidak takut?” Potong Ai, penasaran.
Petugas itu bergumam. “Sedikit. Aku hanya berusaha
berpikir positif kalau semua akan kembali normal. Orang-orang pintar dan
pemerintah sedang berusaha memecahkan masalah ini, dan aku yakin semua akan
kembali seperti semula.” Suasan hening sesaat. “Bagaimana dengan kalian. Apa
yang kalian lakukan di sini?”
“Kami hanya bosan di rumah. Sekolah juga diliburkan.
Jadi kami datang kemari. Siapa tahu ada buku yang menarik.”
“Orang tua kalian tidak melarang keluar rumah?”
“Tidak, jika hanya sebentar.”
“Baiklah. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.”
Ai melangkah pelan, memperhatikan sekeliling dan sedikit
terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Ia mengagumi betapa besar perpustakaan
ini. Belasan kali lebih besar dari perpustakaan sekolahnya. Ada tiga lantai. Masing-masing lantai
berderet rak-rak buku terbuat dari kayu, tinggi hingga mencapai atap. Ai yakin
ada ribuan buku di sini. Bahkan mungkin jutaan. Entah berapa lama mereka sudah
disimpan di sini. Sebagian dari buku-buku itu sudah memudar warna sampulnya. Ada juga yang kertasnya
sudah menguning dan tepinya mulai rapuh.
“Aku tak yakin kita harus memulai dari mana untuk
mencarinya.” Ai merasa tak ada harapan. Sangat tidak mungkin mereka membaca
satu persatu buku yang ada di sini.
”Kemari!” Io menarik tangan Ai agar ia mengikutinya.
Mereka menaiki tangga menuju ke lantai dua. Io sering kemari. Itu sebabnya ia
sangat mengenal tempat ini. Mereka menuju ke deretan meja. Di atasnya terdapat
beberapa komputer. Io menarik salah satu kursi, duduk dengan nyaman di sana . Lalu menyuruh Ai
untuk duduk di samping kirinya. “Kita akan mencari tahu apapun yang ada di sini
yang berhubungan dengan bencana ini.”
Io mengetikkan dark
hole pada kolom keyword, di layar
pencarian. Komputer berproses. Satu menit, dua menit. Tiga menit berlalu dan
layar tak menampilkan apapun kecuali kalimat no result. Mereka mendesah dramatis dengan bahu melorot.
“Tak ada apapun di sini.” Kali ini Ai benar-benar putus
asa. Ini adalah harapan terakhirnya untuk mendapatkan jawaban.
“Kita coba sekali lagi.” Io tak mau menyerah. Ia mencoba
sekali lagi. Lagi. Dan lagi. Tapi ternyata hasilnya sama. Io yang awalnya
bersemangat mulai putus asa. “Tidak mungkin.”
“Ada
yang bisa aku bantu?” Suara lelaki di belakang mereka, mengejutkan.
Io sedikit ragu. “Eh … tidak. Terima kasih.”
Lelaki itu memincingkan mata, melihat ke layar computer.
“Dark hole?!” Dia membaca kolom keyword, lalu bergumam. “Hmm … menarik.
Apa yang ingin kau ketahui tentang dark
hole?” Tiba-tiba lelaki itu menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk
di sebelah kanan Io.
Io dan Ai,
bingung. Mereka saling memandang. “Apa yang kau ketahui tentang dark hole?” Io memberanikan diri
bertanya.
“Apapun yang ingin kau ketahui,” jawab lelaki itu tegas.
Lagi-lagi Io dan Ai saling memandang, sedikit bingung.
“Apa maksudmu?”
Lelaki itu bangkit. “Ikutlah denganku!”
Io dan Ai mengikuti lelaki berperawakan gempal itu naik
ke lantai tiga. Tak ada banyak orang di perpustakaan. Tak sampai sepuluh orang.
Apalagi di lantai tertinggi ini. Tak ada seorangpun.
“Siapa nama kalian?” Tanya lelaki itu berusaha ramah.
Io menjawab. “Aku Io dan ini adikku Ai.”
“Aku Jo. Kenapa kalian tertarik dengan black hole?” Tanya lelaki itu lagi
begitu mereka sampai di lantai tiga, berhenti di antara rak-rak kayu dengan
deretan buku-buku yang mereka yakini umurnya lebih tua dari umur kakek mereka.
Ai mencengkeram lengan Io hingga dia tercekat dengan
kata-kata yang akan diucapkannya. “Aku --,” Dengan cepat Io berpaling ke Ai dan
melihat adiknya itu menggeleng pelan. Ai berharap Io tidak keceplosan lagi,
mengatakan kalau Ai adalah penyebab bencana ini. “Hanya ingin tahu saja.”
Jo bergumam sambil memandangi Io dan Ai bergantian, dari
atas hingga ke bawah. “Tidak banyak anak-anak yang ingin tahu seperti kalian.
Sebagian besar ketakutan atau bahkan tidak peduli. Lihatlah ke bawah! Mereka
semua adalah orang dewasa yang ingin tahu seperti kalian.”
Io dan Ai mengikuti Jo yang melongok ke lantai bawah
lewat beranda luas di lantai tiga. “Tak banyak orang di sini.”
“Hanya beberapa orang ini, kalian, aku, April di bagian
peminjaman, dan Kevin,”
“Petugas di lobi tadi?” Tanya Ai cepat.
“Ya.”
Jo berhenti pada salah satu rak pada deret paling
belakang. Ia menarik tangga, naik ke rak paling atas, mengambil sebuah buku dan
meletakkannya di samping, lalu tangannya masuk lebih dalam ke rak di antara dua
buku. Sesaat kemudian Ia menarik tangannya dan mencengkeram sebuah buku besar
dan tebal. “Ini dia.”
Jo mengembalikan buku di sampingnya, lalu turun
perlahan. Dengan nafas terengah, ia menyodorkan buku itu pada Io. “Yang kalian
cari.”
Dahi Io dan Ai berkerut melihat buku yang disodorkan
oleh Jo. Buku tebal dengan ukuran tidak lebih besar dari tas ranselnya, kertasnya
rapuh dan terlapisi debu, lalu mereka bersuara serempak. “Dark hole?!”
“Ya, semacam itu.” Jawab Jo enteng. Ia bersedekap sambil
menyandarkan tubuhnya ke tangga, lalu sedikit merunduk, mendekatkan wajahnya
pada Io dan Ai sambil meletakkan telunjuk kanannya di depan bibirnya. Ia
berbicara setengah berbisik. “Jangan katakan pada siapapun. Ini rahasia.”
Io dan Ai mengangguk serempak. Lalu Ai berkata, “Tebal
sekali,”
“Bawalah pulang. Kalian bisa membacanya di rumah.”
Ai membolak balik buku sambil mengamatinya dengan
seksama. Dia sedikit heran. “Kenapa kau tidak meminjamkannya pada yang lain.
Kau malah meminjamkannya pada kami … anak-anak.”
Jo bergumam. “Itu juga rahasia.”
Mendengar kata-kata Ai, Io memutar mata. “Karena kita
lebih membutuhkannya.” Potongnya cepat. “Terima kasih, Paman Jo. Kami harus
pulang sekarang.” Io segera berbalik dan menarik tangan Ai yang belum sempat
mengucapkan kata-kata apapun pada Jo, termasuk selamat tinggal ataupun sampai
jumpa lagi.
“Hey, tunggu!” Jo ingin memberi tahu sesuatu tapi
anak-anak ini berjalan cepat, setengah berlari. “Ah, dasar, anak-anak.” Namun
Jo menemukan sesuatu yang jatuh dari saku Io. Sebuah kertas putih yang diremas.
Jo memungutnya, membukanya lebar, lalu membaca tulisan yang ada di kertas itu
pelan. “Dark hole.”
***
“Dari mana saja kalian?” Suara Zack membuat Io dan Ai
tersentak kaget. “Ayah sudah melarang kalian keluar rumah.” Lanjutnya dengan
suara sedikit meninggi sambil berdiri berkacak pinggang di depan pintu.
Io meringis. “Aku menemani Ai ke rumah Grey. Dia mau
meminjam buku ensiklopedia.” Io berasalasan sambil kakinya menginjak kaki Ai.
Ai kaget, tapi berusaha tetap normal. Dengan cepat otaknya
memikirkan alasan lain. “Benar, Ayah.” Suaranya sedikit bergetar. “Aku bosan di
kamar.”
Zack mendesah, tidak dapat menerima alasan kedua
putrinya. “Tapi kalian bisa berpamitan terlebih dulu sebelum pergi.”
“Maaf.” Jawab kedua gadis kecil itu serempak. Ada rasa takut akan
kemarahan ayah mereka.
“Apa kalian tahu? Kalian sudah membuat ibu kalian cemas.”
Menyadari perubahan raut wajah kedua putrinya, Zack menurunkan nada suaranya.
Lanjutnya, “Dan ayah lebih cemas lagi karena tidak menemukan kalian di seluruh penjuru
rumah.”
“Kami janji tidak akan mengulanginya lagi. Lagi pula
kami sudah remaja. Jadi ayah tidak perlu secemas itu.” tanggap Io. Dia berusaha
mengakhiri pembicaraan ini cepat, sebelum ayahnya mengintrogasinya lebih dalam.
“Justru karena kalian remaja, Ayah tidak ingin kalian
melakukan sesuatu yang nekad … bahkan konyol.”
Io memutar matanya. Ia sadar tidak akan menang jika
berdebat dengan ayahnya. “Baiklah, Ayah. Kami berjanji tidak akan
mengulanginya.”
“Janji?!”
“Janji,” jawab mereka kompak. Io benar-benar sudah tak
sabar masuk kamar lalu membuka buku yang baru saja didapatnya. “Boleh kami naik
ke kamar sekarang?”
“Tidak,” Meski nada suara Zack sudah menurun, tapi masih
terdengar tegas, “sebelum kalian temui ibu kalian dan mengatakan kalau kalian
baik-baik saja.”
Io menarik tangan Ai, menuju ke dapur.
“Ya, ampun. Kemana saja kalian?” Scarlet berjalan cepat
ke arah kedua putrinya lalu memeluknya erat.
“Dari rumah teman, meminjam beberapa buku.” Setelah dari
tadi hanya sebagai pendengar saja, termasuk saat Io berdebat dengan ayahnya,
kini Ai bersuara.
“Apa kalian lapar?” Scarlet memandang kedua putrinya
bergantian.
“Iya.”
“Tidak.”
Dengan serempak Io dan Ai menjawab pertanyaan, namun
dengan jawaban yang tidak kompak. Io melirik tajam ke adiknya yang wajahnya
mendadak kaku. Io merasa ketidak kompakan mereka bisa membuat ayah dan ibunya
curiga. Melihat Ai diam saja, Io langsung menyahut, “Kami lelah dan ingin cepat
tidur.” Tangannya menarik paksa lengan Ai lalu menyeretnya keluar dapur dan
berjalan naik ke lantai dua. “Ayo, Io.”
Ai pasrah pada kakaknya. Ia hanya bisa menggerutu sambil
terus menapaki anak tangga. “Tapi, Io. Aku lapar.”
Io bergeming. “Masalah ini lebih penting dari pada
makan.” Ia membuka pintu kamar, masih menarik lengan Ai masuk, lalu menutup
pintu rapat lengkap dengan kuncinya. “Keluarkan bukunya!”
Ai yang baru saja merebahkan tubuhnya dengan malas
bangkit. Ia menarik tasnya yang diletakkan setengah dilempar di sampingnya.
“Tapi aku benar-benar lapar.” Ai memasang muka memelas hingga membuat Io
menyerah. Io tak mau adiknya makin menderita.
“Ya, sudah. Ambillah apa yang bisa kau makan di dapur,
lalu kembalilah kemari,” kata Io saat menerima buku besar bersampul coklet yang
sudah tampak tua dan rapuh. Dengan perlahan membuka halaman depan buku itu
sambil duduk di lantai kamar. Saat Ai kembali dari dapur, dia membawa nampan
besar berisi beberapa potong pizza.
“Aku membawakanmu ini.”
“Terima kasih,” ucap Io saat menerima sepotong pizza
tanpa menoleh ke Ai.
Ai menjatuhkan diri duduk di samping Io. Ia menggigit
pizzanya lalu mengunyahnya beberapa kali kemudian terdiam. “Kapan semua ini
akan berakhir?” Pertanyaan itu seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Berdo’alah dalam hati … dan jangan berisik.” Tukas Io.
Ai menghela nafas panjang, setengah pasrah. Samar , terdengar sebuah suara. Ai menoleh ke Io dan
mendapati kakaknya itu duduk tertelungkup dengan tenang sambil terus membaca
buku. Suara itu datang lagi tapi Ai tak tahu dimana sumbernya. Mata Ai menyipit,
berusaha menajamkan pendengarannya. Dahinya juga berkerut. Ia bangkit dan
berjalan mendekat ke sumber suara, jendela kamarnya. Ai menatap tanpa berkedip.
Tiba-tiba ia dikagetkan dengan sebuah benda yang melayang dan mengenai kaca
jendelanya. Benda itulah yang menyebabkan suara yang mengganggu telinganya.
Dengan setengah berlari Ai mendekat ke jendela dan itu
membuat Io kaget. “Ada
apa Ai?”
“Sesuatu mengenai jendela ini.” Lalu benda itu melayang
lagi. “Seseorang melempar sesuatu ke jendela kamar kita.”
“Siapa?” Io penasaran. Ia bangkit dan mendekat ke Ai.
Ai mengendikkan bahu. Potongan pizza masih ada di tangan
kanannya. “Entahlah.”
Io memberanikan diri membuka jendela. Perlahan ia
melongok ke luar, melihat ke bawah. Seseorang berdiri tepat di bawah jendela dan
melambaikan tangan. Ai mendekat ke Io dan ikut melihat ke bawah. “Bukankah dia petugas
perpustakaan tadi?” Ai mengangguk. “Mau apa dia? Mengambil bukunya kembali?”
Lelaki itu
memberi isyarat pada Ai dan Io untuk turun. “Kalau kita tak ke sana , kita tidak akan
tahu.” Ujar Io, yang lalu menutup jendelanya kembali.
Dahi Ai berkerut lagi. “Bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Kita keluar diam-diam.” Io mengambil pizza dari tangan
Ai. Ai mengerutkan dahi lebih dalam saat tiba-tiba tangannya di tarik oleh Io.
“Seperti biasa.”
Untuk kesekian kalinya Io dan Ai mengendap-endap keluar
rumah. Untung saja Zack tidak sampai mengunci pintu depan atau juga menempatkan
anjing penjaga yang bisa menghalangi kedua putrinya keluar rumah.
“Kau mau apa? Meminta buku itu kembali? Bahkan kami
belum sempat membacanya,”
Ai melihat ke Io yang sedang berbohong. “Iya, benar.”
Tapi ia mendukungnya.
Jo tertawa. “Tidak. Aku tidak ingin mengambil buku itu.
Justru sebaliknya. Aku sudah menemukan jawabannya.”
“Benarkah?” Ai sangat antusias, tapi Io segera
mencegahnya. Sahutnya, “Apa buktinya?”
“Kalian mau tahu?” Sikap Jo membuat kedua anak itu
penasaran. Mereka beranggapan kalau Jo punya rencana tersembunyi kepada mereka.
Menculik mereka karena mereka berusaha mengungkap tentang kebenaran dark hole, atau mungkin juga Jo ternyata
adalah salah satu dari entah siapa mereka yang membuat semua ini dan
menyembunyikannya di balik sebongkah batu yang ditancapkan di tanah.
Io menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha mengusir
semua dugaan. Dia kemudian mengangguk perlahan, namun tetap waspada. “Tentu.”
“Datanglah ke sekolah kalian sore ini. Jangan lupa bawa
perlengkapan. Kita akan berpetualang.” Kata Jo yang langsung berbalik tanpa
memberikan kesempatan pasa Io dan Ai untuk memahami maksudnya.
“Apa maksudnya?”
“Entahlah.” Io mengendikan bahu. Ia masih melihat ke Jo
meski kini lelaki itu tinggal titik di kejauhan. “Tapi kita tak boleh percaya
begitu saja. Kita tak tahu siapa dia dan mengapa dia begitu antusias dengan
semua ini.” Io mencoba memperingankan Ai dan memintanya ikut waspada. Tapi Ai
punya pemikirannya sendiri.
“Tapi kalau tidak dicoba, mana kita tahu dia jujur atau
tidak.”
Mendengar jawaban Ai membuat Io berpaling pada adiknya.
Dahinya berkerut.
***
To be continued ...
Next Chapter The Dark Hole Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berbagi komentar