Pintu masih terkunci. Sementara sang raja siang telah menyombongkan
tahtanya di luar sana .
Angin terkadang mengetuk lembut daun pintu berwarna cokelat gelap yang dipahat
sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan mewah pada tiap ukirannya.
Buyar. Lamunanku tentangnya terpecah seketika saat pintu kamarku diketuk
dari luar. "Kamu masih ngelamun aja, Nal. Cepat berangkat!"
"Eh, iya. Bu." Aku kenakan lagi benda bulat di jari tengahku,
meskipun agak sedikit sempit tapi aku suka memakainya.
Pagi itu kuminta supir taksinya untuk mengendarai lebih cepat.
Sesampainya di depan kantor, segera kubayar argonya dan aku berlari menghampiri
lift yang dikerumuni banyak orang. Lift seakan berjalan lambat, sedang waktu
berjalan terlalu cepat. Aku mengetuk perlahan pintu bosku dengan sangat
hati-hati.
"Masuk!" Titahnya. Suara menggelegar itu hampir saja menciutkan
nyaliku.
"Selamat pagi, pak!"
"Selamat siang!" Jawabnya tegas. Kumisnya yang lebat seakan
mengancam keselamatanku.
"Maaf, Pak. Saya..."
"Duduk!" Aku menarik keluar kursi yang bersembunyi di bawah
meja. Kini aku duduk tepat di depan bosku.
"Kamu sudah bekerja di kantor ini berapa lama?" Tanya bosku
tiba-tiba. Aneh.
"Satu tahun empat bulan, Pak."
"Lalu apa-apaan ini?" Bosku melemparkan sebuah map biru di
hadapanku. Aku mengambil perlahan, sebuah pemutusan hubungan kerja antara pihak
Malaysia
dan kantorku.
"Kenapa Malaysia
memilih mengakhiri kerjasama ini?” Tanya bosku sedikit membentak, memukul mejanya. "Kamu sudah lama bekerja
di sini tapi kenapa ada kesalahan sefatal ini? Ini proyek ratusan juta. Karena
kecerobohanmu, Malaysia
yang awalnya setuju jadi berpikir ulang dan akhirnya membatalkan kerjasama
ini." Aku tertunduk, menyesali kecerobohanku. Bosku berkacak pinggang,
berkali-kali ia menggosok jidatnya bahkan beberapa kali dia menggebrak meja.
"Maaf, Pak. Saya akan bertanggung jawab."
"Bagus. Kamu dipecat! Sekarang keluar dari ruangan saya!" Bosku
memalingkan wajahnya, seolah waspada kalau aku merengek di hadapannya. Aku berdiri,
mengulurkan tangan pada orang yang kini menjad ibukan siapa-siapaku. Tanpa
membalas niat baikku dia duduk dan menghidupkan rokoknya.
***
Setahun lalu, kehidupanku bertolak belakang seratus delapan puluh derajat
dari yang sekarang. Karir, percintaan, semuanya serasa sempurna. Tak ada yang
kurang.
Sheila, gadis yang kucintai dan yang mencintaiku. Selalu memberi semangat
pada hidupku. Saat aku jatuh, ia membantuku bangkit dengan semangatnya, dengan
senyumannya yang menenangkanku. She is my sunshine.
Namun tak dapat dipungkiri. Hidup penuh kejutan. Tak ada yang abadi di
sini. Bahkan orang yang sangat kucintaipun bisa berubah tanpa alasan pasti.
"Kenapa? Ada apa sebenarnya?" tanyaku, mencari
tahu atas perubahan sikap Sheila.
"Apapun itu ... aku merasa ...
kita sudah tak bisa bersama lagi," jawab Sheila dengan suara bergetar.
"Tapi, Sheil ...,"
"Maaf, Ronal. Aku harus
pergi sekarang,"
Sheila pergi tanpa basa basi. Bukan
hanya pergi dari hadapanku, tapi juga pergi selamanya dari hidupku. Dan hari
ini aku terpuruk, benar-benar terpuruk.
Entah mengapa tiba-tiba saja aku ingat Sheila. Mungkin suasana inilah
yang membuatku mengenangnya. Aku tercenung. Memandang foto-foto Sheila yang
terpajang di dinding kamarku. Sheila sangat fotogenik. Ia tahu harus beraya
seperti apa setiap lensa kameraku membidiknya. Aku suka fotografi, dan Sheila
sangat suka difoto. Kami sepadan bukan? Seharusnya. Tapi tidak demikian
nyatanya.
Kemarin, aku coba mencari tahu tentang keberadaan Sheila dari teman
dekatnya, Dhea. Tapi jawaban yang aku dapatnya sangat mengejutkan.
"Lebih baik kamu lupakan Sheila. Dia sekarang sudah bertunangan
dengan seorang pengusaha muda, dan sebentar lagi akan menikah,"
"Apa?!" seruku, tak percaya.
"Asal kamu tahu, Ronal. salah satu alasan Sheila meninggalkanmu adalah
karena kamu belum mapan. Kamu hanya seorang pekerja kantoran biasa. Sedang Sheila,
kamu tahu sendirikan bagaimana gaya
hidupnya. Dia anak orang kaya. Cinta saja tak akan cukup baginya," jelas
Dhea.
"Tapi aku dan Sheila sudah berpacaran lama, dua tahun bagi kami
sudah cukup untuk saling memahami." Aku masih shock dengan pengakuan Dhea.
"Cinta tidak melulu soal itu, Nal. Ada
banyak jenis cinta di luar sana ."
Ucap Dhea meninggalkanku bersama semua kenangan buruk tentang Sheila,
sahabatnya.
Aku meremas cincin itu dan mengepalnya erat dalam gengaman. "Kalau
Sheila tidak mencintaiku, untuk apa dulu dia mau menerima tunanganku?!"
Teriakku membelah sunyi diruang ini, tak segan kulayangkan tonjokan pada
dinding yang sedari tadi membisu, hingga kini warnanya merah darah.
***
"Tanganmu kenapa, Nal?" Tanya Ibu langsung menghampiriku saat
sedang menyiapkan makan malam.
"Bukan apa-apa, Bu. Hanya luka kecil." Jawabku.
"Kau berkelahi?" Tanya Ibu khawatir. Aku menceritakan semuanya
pada Ibu, tentang Sheila, tentang pekerjaan dan Ibu memahami posisiku.
"Jangan terlalu dipikirkan. Tuhan selalu punya cara sendiri untuk menyatukan
hambaNya. Toh, kalaupun kalian berjodoh pasti akan dipertemukan dengan cara
yang lebih baik." Nasihat Ibu.
Aku memikirkan semua yang Ibu katakan. Tapi, membiarkan Sheila terjamah
orang lain bukanlah hal yang mudah. Aku menatap cincin yang bercumbu dengan
jari tengahku.
Malam masih bercengkrama dengan dinginnya. Sedang aku masih terpeluk
sepi. Bulan yang menari sendiri memaksaku untuk mengingat kejadian satu tahun
silam. Malam itu ...
"Sheila, lihat ini!" Aku
mempermainkan seutas tali berwarna biru di tanganku.
"Tali?! Buat apa, Nal?"
Tanya Sheila polos, wajahnya yang lugu memberi kesan lucu pada setiap gerak
kecilnya.
"Kamu mau gak aku ikat pake
tali ini?"
"Enggak, ah. Ngapain coba?
Kamu mau nyulik aku, ya?" Tuduh Sheila, spontan membuatku terkekeh.
Aku terdiam beberapa saat. Perlahan
kuambil sebuah kotak kecil dari dalam saku jaketku. "Tapi, kamu mau gak
aku ikat pake ini?" Kubuka kotak itu, dengan wajah terkejut dia menutup
sebagian mukanya.
"Cincin?! Kau mau ...,"
Sheila menggantung ucapannya.
"Apa kau mau aku ikat dengan
cincin ini? Sebagai tanda aku adalah milikmu, dan kau adalah milikku. Maukah
kau bertunangan denganku?" Aku menatapnya, mencari jawaban dari dalam
matanya. Matanya berbinar, namun ia terdiam. Sebuah anggukan kecil mengakhiri
kekhawatiranku.
Tiba-tiba kami saling senyum, lalu
sebuah pelukan mendarat di tubuhku. Aku mendengar napasnya seirama dengan
napasku, aku juga dapat merasa detak jantungnya seiring dengan jantungku. Aku
memasangkan cincin itu di jari tengahnya.
"Sudah larut, Nal. Lekas tidur!" Suara serak Ibu menghisapku
kembali pada kenyataan bahwa Sheila tak lagi di sampingku.
***
Jam menunjukan pukul 09.38, baru saja kuakhiri mimpi yang membelaiku
sejak subuh tadi. Aku cek handphone beberapa panggilan tak terjawab dan sms
memenuhi inbokku. Mataku membulat saat membaca isi pesan tersebut. Berbagai
ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa mereka lantunkan untukku. Terlalu
memikirkan Sheila membuatku terlupa bahkan pada hari ulang tahunku sekali pun.
Ah, percuma, Sheila pun tak mungkin lagi mengingat tentang aku.
Hari ini aku ingin mendatangi tempat dulu aku dan dia sering menghabiskan
masa. Ya, dia. Masih tentang Sheila.
Sebuah taman bunga menyambut kedatanganku. Tempat ini tak banyak berubah.
Sebuah bangku tua masih berada di situ, tempat dulu aku dah Sheila... ah,
sudahlah. Hari ini aku hanya ingin sendiri saja menikmati cacian yang
dimuntahkan waktu. "Aku tahu kau pasti di sini,"
Deg! Suara itu... Ah, tidak mungkin, itu pasti hanya fatamorgana.
"Kau memang tidak berubah, masih sering mengabaikanku." Segera
kupalingkan wajahku ke arahnya. Gadis manis dengan poni yang menutupi sebagian
wajahnya, dengan baju biru yang membungkus sosok mungilnya. "Sheila?!"
"Ternyata aku nggak bisa hidup tanpa kamu." Sheila menunduk
terlalu dalam, hingga aku tak bisa melihat kesungguhan ucapannya dari matanya.
"Ini," dia melepas cincin yang dulu kuberi dari jari tengahnya,
lalu memberikannya padaku. "Aku..."
"Kau meninggalkan aku setelah aku memberi segalanya untukmu. Cinta,
waktu, hingga cincin itu." Aku meremas tanganku, menahan emosi.
"Meski kau telah mengembalikan semuanya, termasuk cincin ini. Tapi, kau
tetap tak bisa mengembalikan hatiku. Kau menawanku terlalu dalam di hatimu,
hingga aku sulit mengambil kembali hatiku." Aku meliriknya sesaat, dia
menelurkan butiran-butiran bening di pipinya.
"Aku kesini bukan untuk mengembalikan cincin itu," ucapnya di
sela isaknya. "Kau bodoh, kau memintaku menjadi tunanganmu tapi kau
memasangkan cincin itu di jari tengahku. Aku mau kau memasangkannya di jari
manisku." Dia menjulurkan tangannya, bergantian kutatap wajahnya dan
cincin digenggamanku.
"Apa maksudmu?"
"Maaf. Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku mencintaimu. Aku ingin
menikah denganmu!" Kalimat terakhirnya membuat aku berpikir keras.
"Aku sudah tidak punya apa-apa. Aku dipecat dari tempatr kerjaku,
dan kini aku kehilangan semangatku, kamu.”
“Aku nggak peduli. Aku memang berselingkuh dengan orang yang lebih mapan
dari kamu, tapi ternyata aku salah, cinta tak hanya tentang itu. Aku juga
kehilangan kamu, Nal.” Sheila terisak. “Kamu mau memasangkan cincin itu di jari
manisku? Kamu mau menikah denganku?” Kali ini Sheila yang menatapku.
“Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, Sheila.” Kami
terdiam, saling menatap. Hingga akhirnya Sheila melabuhkan pelukannya,
kubenamkan dia dipelukanku. Aku tahu dia adalah tulang rusukku. End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berbagi komentar