Bel pulang berdering. Ku masukkan semua buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Aku pulang lewat gerbang belakang. Kulihat Aldi bersama beberapa temannya sibuk bergerombol. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku terus berjalan melewati mereka, menuju ke halte bus yang ada di jalan Slamet Riyadi. Sebuah bus berhenti, aku masuk ke dalamnya.
Perlahan bus bergerak menuju ke bunderan Gladag. Aku
duduk di samping jendela. Ku lihat keluar, lalu lintas mendadak ramai. Beberapa
anak sekolah dengan berkendara motor keluar dari gang sekolahku, lalu berarak
searah dengan bus yang ku tumpangi. Mereka memacu sepeda motor dengan kecepatan
tinggi, lalu menghilang di keramaian lalu lintas.
Hampir mendekati bunderan Gladag, mendadak busku
berhenti. Seorang pengguna jalan meminta sopir untuk berputar. Dari penjelasan
yang ku dengar, ada tawuran di sana .
Aku coba melihat dari kaca jendela, tapi kacanya tak bisa ku buka. Aku putuskan
turun, lalu berjalan mendekati tempat kejadian.
Dari kejauhan, pertigaan Gladag berubah seperti medan pertempuran. Banyak
batu melayang. Dua belah kubu merangsek maju tak mau kalah. Kuperhatikan salah
satu kubu, mereka mengenakan seragam batik yang sama denganku. Kurapatkan jaket
hingga menutup semua seragamku. Kulihat dari kejauhan mereka terus berperang
batu, beberapa senjata tajam pun beradu.
Saat aku ingin melihat lebih dekat lagi, seseorang
menarik perhatianku. Aldi, ia ada di antara mereka. Ku coba mengingat kembali
kejadian sebelumnya. Mungkinkah Aldi tadi sedang mempersipkan diri untuk
tawuran?!
Aku merapat pada pohon besar di samping trotoar jalan. Ada sosok lain didepanku,
ia memunggungiku. Aku coba mengintai. Sepertinya aku mengenalnya. Ia menatap
tajam medan
pertempuran, bahkan matanya tak berkedip. Sedangkan di sana polisi sibuk melerai, hingga akhirnya
dikeluarkan tembakan peringatan. Siswa yang tawuran kocar kacir melarikan diri.
Namun beberapa diantaranya tertangkap petugas.
Syukurlah cepat selesai, kataku dalam hati. Kembali ku
lihat sosok di depanku. Ia membalikkan badan. Wajahnya tampak kecewa. Ia
berjalan mendekat, tampak jelas wajahnya olehku.
“Alex?” Spontan aku memanggilnya, dan itu membuatnya
kaget. Seketika wajah dinginnya muncul. Beberapa saat, ia hanya menatapku
tajam, lalu berlalu bagitu saja. Tatapannya membuatku begidik. Benar-benar
tatapan mata yang dingin, menakutkan.
***
Aku menanti Aldi di depan gerbang sekolah, namun tak
kunjung ku temukan. Sosoknya baru muncul ketika jarum menunjukkan tepat pukul
tujuh. Ia datang terlambat dan tampak kacau, rambut acak-acakan. Ia seperti
bukan Aldi yang ku kenal. Aku dan Aldi berteman sejak kecil, bahkan kami
bertetangga. Orang tua kami pun berteman baik. Aldi yang dulu adalah anak yang
pandai, selalu juara kelas. Namun akhir akhir ini Aldi berubah. Sering bolos,
tidak mengerjakan PR bahkan nilainya hancur. Aku sering mencuri dengar saat ibu
Aldi sharing dengan ibuku, bagaimana perubahan sikap Aldi yang temperamen,
mudah tersinggung dan marah. Dan itu menjadi alasan kuat bagiku untuk mencari
tahu, apa yang menyebabkan Aldi berubah.
Ketika jam istirahat, aku berusaha mengutit Aldi. Ku
lihat ia bersama dengan Alex, hanya berdua, di belakang sekolah. Sepertinya
mereka terlibat pembicaraan serius. Alex memegang pundak Aldi. Ku lihat Aldi
menatap tajam ke mata Alex. Mata Alex berubah menghitam. Berkilau. Lama mereka
saling menatap. Sesaat kemudian Aldi tampak gontai dan hampir terjatuh. Tapi
Alex menahannya, lalu meninggalkanya. Aldi masih berdiri mematung, tampak
linglung. Aku coba mendekat. Ku tepuk bahunya. Ia terkejut, lalu melihat pada
tanganku. “Kau mau apa?”
“Tadi ibumu ke rumahku. Kau sudah tidak pulang beberapa
hari.”
“Itu bukan urusanmu.” Aldi ketakutan.
“Tapi ibumu cemas.” Aldi menjauh dariku, sambil sesekali
melihat ke tanganku. Ia berlari menuju kelas. Ku coba mengikuti.
Kelas terdengar riuh. Beberapa teman sedang adu mulut.
Ku perhatikan dengan seksama. Akhir-akhir ini aura di kelas ini berubah. Sama
seperti sikap anak-anak di kelas ini. Mereka mudah tersinggung dan marah. Tak
jarang mereka brutal. Bagaimana jika kegelapan memang ada di kelas ini. Aku berpikir
untuk mengeluarkan sedikit kekuatan. Kekuatanku
yang tak akan bereaksi dengan siapapun kecuali, orang tersebut menyimpan
kekuatan hitam. Tapi mungkinkah?!
Suara mereka yang beradu mulut semakin tinggi dan penuh
emosi. Ini membuatku semakin bingung. Tanpa ku sadari aku bertabrakan dengan
Amel, murid paling manis dan paling pendiam di kelas ini. Amel terjatuh. Aku
minta maaf. Tapi Amel tampak marah, bahkan ia memakiku. Tak pernah Amel
bersikap seperti ini. Ku pegang tangannya, mencoba membantunya berdiri, tapi
Amel malah menjerit. Ia merangkak mundur ketakutan.
Sekarang aku yakin, ada yang tidak beres dengan semua
penghuni kelas ini. Bahkan murid yang tadinya hanya adu mulut, sekarang mereka
adu jotos. Tak ada satu pun yang berusaha melerai. Bahkan mereka memberi
semangat seperti sedang ada pertandingan. Mereka sedang diadu selayaknya hewan.
Aku coba mendekat untuk melerai. Kali ini aku yakin ada
kekuatan hitam bersama mereka. Tak banyak kekuatan yanga akan ku keluarkan,
hanya seperlunya saja untuk menyadarkan, karna pada dasarnya mereka adalah
manusia. Bukan mereka yang musti dimusnahkan, tapi cukup kekuatan itu saja.
Ku sibak kerumunan. Tangan ku telah siap melerai mereka
yang tengah bergumun, adu jotos. Sedikit lagi tanganku menyentuh mereka, tapi
buru-buru ditepis oleh Alex. Aku melihat ke arah Alex. Dia menatapku tajam. Ku
lihat pada teman yang lain, mereka pun serupa. Seolah memandangku dengan
kebencian. Aku mundur, bergegas keluar kelas. Pemandangan yang sama di luar
kelas. Kenapa semua murid memandangku dengan tatapan menakutkan seperti itu.
Sepertinya mereka ingin menerkamku.
Aku berlari menghindar dari tatapan-tatapan itu.
Jantungku berdegub kencang. Aku berhenti di aula, lalu mengatur nafas. Tak satu
pun orang di sini. Ya Tuhan, apa yang terjadi. Aku lari seperti pengecut.
Bukankah seharusnya ku sentuh mereka dengan cinta dan kasih sayang.
Huffhh… Ku berjalan sekeliling, sepi. Ku buka pintu
aula, lalu melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Ku melangkah ke tengah. Aneh,
kurasakan sebuah kekuatan besar menyelimuti sekitar. Tanganku bersinar. Sesosok
bayangan muncul di belakangku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang. “Alex?!”
Sekonyong-konyong Alex ada di hadapanku. Dari mana dia datang?!
Aku yakin sudah mengunci pintunya, dan hanya itu pintu satu-satunya untuk masuk
ke aula ini. Dia mendekat ke arahku. Tak ingin sesuatu terjadi, aku pun mundur.
Tiba-tiba asap putih muncul di sekitarku. Teman-teman sekolah bermunculan satu
persatu, menembus dindin aula. Ah, pantas saja pintu masih tertutup rapat
ketika Alex datang, rupanya mereka mampu ber telekinesis.
Aku terdesak, di antar Alex dan temen-teman sekolah yang
kini sudah berubah menjadi, seperti zombie, berjalan gontai, kaku dan tatapan
mata kosong. Alex semakin mendekat ke padaku, bahkan sangat dekat. Ia
menatapku, matanya berubah menghitam, mengkilat. Aku rasakan sebuah energi
menyergapku. Suara-suara aneh bergema di telingaku. Alex berusaha menghipnotis
aku. Energinya terus mendesakku. Jantungku berdegub kencang, nafaku tercekat.
Aku merasa pening dan hampir roboh. Secara reflek tanganku menyentuh tubuh
Alex. Alex tersentak. Kilatan hitam di mata nya sirna seketika. Alex melangkah
mundur.
“Siapa kau sebenarnya?” Alex menatap lurus ke arahku.
“Almira. Apa kau tak mengenalku?” Suaraku bergetar.
“Hmm, Almira. Atau mungkin, aku bisa memanggilmu
Fairylove.” Alex memberikan tekanan pada kata-kata terakhirnya.
“Terserah, tak masalah.” Aku berusaha untuk terlihat
tegar.
Alex terdiam sejenak. “Aku benci kebaikan. Aki benci
kasih sayang. Aku benci cinta. Karna itu hanya akan melemahkan kekuatanku.
Kekuatan kegelapan.”
“Ow, jadi itu alasanmu, menghilangkan kebaikan dari
orang-orang ini, lalu mengubahnya menjadi jahat menjadi brutal.”
“Hahaha…” Alex tertawa, suaranya membahana.
“Semakin banyak kejahatan dan kebencian yang terjadi,
aku akan semakin kuat.” Lanjut Alex.
“Lihatlah mereka, teman-temanmu. Kalau kau memang peri
penyayang, coba hentikan mereka.” Alex tersenyum sinis.
Aku berbalik ke arah teman-temanku. Mereka mulai meraung.
Aku coba untuk tenang. Aku ayunkan tangan ke depan, konsentrasi penuh untuk
memusatkan energi. Savastarpikerska. Tanganku
mulai memutih , lalu bercahaya. Pancarannya mulai mengena ke mereka. Ku alirkan
energi positif. Mereka mulai silau, lalu berteriak kesakitan. Ini berarti
kekuatanku mulai bekerja. Sekonyong-konyong cahaya hitam keluar dai tubuh
mereka satu persatu. Teriakan kesakitan semakin keras. Tapi aku merasakan ada
yang tidak beres. Aku merasakan lelah. Ini terlalu banyak, mereka menguras tenagaku.
Aku mulai melemah. Tapi aku tetap berusaha fokus.
“Argghhh…!!!” Ku paksakan terus agar energiku keluar.
Hingga satu persatu mereka tumbang, pingsan. Hingga akhirnya, aku pun terjatuh
lemas, tersungkur di lantai. Aku melihat pada Alex. Sepertinya dia sangat
menikmati pertempuran ini.
“Aha, hanya sebegitukah kekuatanmu?” Alex melepaskan
lipatan tangannya di dada. Lalu mengarahkan tangan kangannya lurus ke arahku.
Sesuatu serasa mencekik leherku. Aku tak mampu melihat apa itu, aku hanya mampu
merasakan semakin tercekik. Sepertinya ia melakukan teleportasi padaku. Alex tak berani bersentuhan langsung denganku.
Perpanjangan tangan Alex mengangkatku tinggi, kakiku
melayang di atas tanah, lalu melemparku ke dinding. Kurasakan benturan hebat di
punggungku, kepalaku sedikit pening. Dalam keadaan lemah aku berusaha bangkit,
tapi sekali lagi Alex mengangkatku tinggi. Tapi kali ini ia merapatkan tubuhku
ke tembok.
“Ckckck… Ternyata, tak sesulit yang ku bayangkan.” Alex
mendekat padaku.
“Almira yang baik hati… Almira yang suka menolong…
Almira yang tidak sombong… Aku muak..!!!” Alex membentak. Tangannya mencengkram
lebih kuat. Kali ini aku benar-benar tak bias bernafas. Aku coba meraba-raba
tembok sekitarku. Ada
sebauh lukisan di belakang kepalaku. Aku berusaha melepasnya. Terus ku tarik,
dan akhirnya…
“Aarghh…” Ku lempar lukisan itu ke arah Alex, tepat
mengenai wajahnya. Seketika itu pula perpanjangan tangan Alex melepaskan
cengkramannya. Aku terjatuh ke lantai. Badanku terasa sakit tapi ku paksakan
untuk bangkit. Meslimesta. Aku
rasakan tenagaku seperti hempasan gelombang, menyapu Alex hingga terpental ke
rak. Seketika itu pula rak roboh dan menimbunnya.
Dalam langkah gontai, aku mendekat padanya. Aku mulai
mengatur nafas, lalu memfokuskan kekuatanku. Hanya untuk berjaga-jaga kalau
Alex tiba-tiba saja bangkit dan menyerangku. Alex bergerak dari dalam tumpukan.
Tapi ia tak bisa berbuat apapun karna tubuhnya tertindih rak paling besar.
Hanya kepala dan salah satu tangannya saja yang terlihat.
Alex melihat ke arahku yang berdiri di depannya.”Ayo,
bunuh aku!” Kulihat darah segar mengalir di wajahnya.
“Kau, manusia?”
“Kenapa? Kau tak tega menyakitiku kan ?” Suara Alex mengejekku. “Hahaha…
Kekuatanmu adalah kelemahanmu.”
Sejenak kata-kata Alex terngiang di kepalaku. Benarkah?!
Cahaya di tanganku meredup. Perlahan tanganku turun. Sejenak aku bimbang. Dan
rupanya, itu terbaca oleh Alex. Dari satu tangannya, mendadak, ia melancarkan
serangan ke arahku. Namun tingkat kewaspadaanku masih tinggi. Sebelum
serangannya mengenaiku, ku lakukan eksekusi akhir. Sippliciador.
Seranganku mengenai Alex. Puing-puing beterbangan.
Sedangkan tubuh Alex terseret mundur hingga menghantam tembok, lalu mengejang. Perlahan
cahaya hitam keluar dari tubuhnya. Cahaya yang sama dengan temen-teman yang lain,
hanya saja intensitasnya lebih pekat. Alex mengerang kesakitan, sesaat kemudian
berteriak. “Arrgghh..!!”
Aku berlari
mendekat. Alex tertelungkup, pingsan. Berceceran darah di sekitarnya. Ku coba
balikkan badannya.
“Aaa..” Aku merangkak mundur. Sebuah kristal
menyilaukanku, dan membuatku terbakar. Seperti inikah rasanya, saat Alex dan
teman-teman yang lain menyentuhku?!
***
Di selasar rumah
sakit, ibu Aldi menunggu di depan bangsal.
“Masuklah, Aldi
sudah siuman.” Aku tersenyum, lalu masuk ke kamar perawatan. Ku lihat Aldi
sedang duduk santai, punggungnya bersandar pada tumpukan bantal.
“Nasi liwet.” Aku
pamerkan bungkusan daun pisang, lalu meletakkannya di meja. Aldi menatapku
lama, dan itu membuatku tidak enak.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Akhirnya Aldi bersuara.
“Kau tak masuk kelas beberapa hari, hingga para guru
menanyakanmu padaku.”
“Kenapa bias begitu?” Aku berpikir. Aldi sedang
bercanda, atau memang tidak ingat apa yang terjadi. Aku bingung menjawabnya.
Tapi untungnya, aku terselamatkan oleh dokter yang datang untuk mengecek
kesehatannya.
Aku pamit undur diri. Dan ketika aku melewati ruang
perawatan Alex, aku beranikan diri untuk masuk, Alex sedang berbaring di tempat
tidurnya.
“Dari mana kau dapatkan kristal itu?” Akhirnya,
pertanyaan itu keluar juga dari mulutku.
“Petir itu, ia yang mengirimkannya padaku.” Alex
bercerita asal mula kekuatannya. Dari semuanya, hanya Alex yang masih ingat
kejadian itu. Apakah karena Alex awal dari semua?!
Dalam perjalanan pulang, ku nikmati pemandangan malam
jalan Slamet Riyadi dari balik jendela taksi. Di sepanjang kanan kirinya
dipenuhi pedagang kaki lima
dengan menu kulinernya, dengan konsep lesehan khas Solo. Taksi berhenti di
pertigaan Gladag. Ku buka pintu perlahan, lalu keluar, memandang patung Slamet
Riyadi berdiri kokoh di depanku. Sedang di belakangku, semburan air mancur yang
melingkar memercikan air hingga ke jalan. Aku berjalan menuju sebuah lapangan.
Jika memang petir itu yang membawa kekuatan hitam ini, maka ia pula yang harus
mengambilnya.
Hujan merinai dan semakin deras. Ku ambil kristal hitam
dari kotak penyimpanan, lalu meletakkannya di tengah lapangan. Aku berlari
menepi, tanganku melepuh.
Kristal itu bersinar terang mengundang petir menyambar
bersahutan. Hingga petir terbesar menyambar tanah. Ledakan cahaya terjadi.
Kristal hitam lenyap seketika. Tak ada jejak sedikit pun. Ku lihat langit,
mendadak cerah penuh bintang. Akankah semua kembali seperti semula?! Hati yang
penuh sayang dan cinta?! Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berbagi komentar